Selasa, 27 September 2011

Azas Media Pembelajaran


12.05 |

MEDIA DAN TUJUAN PENDIDIKAN
Tujuan pendidikan biasanya menghantarkan siswa menuju pada perubahan tingkah laku, perubahan tersebut tercermin baik dari segi intelek, moral maupun hubungannya dengan social . pencapain tujuan tersebut akan dibimbing dan diarahkan oleh guru (lingkungan sekolah) maupun siswa berperan secara aktif.
Implikasi dari nilai-nilai dalam tujuan pendidikan, setiap negara memiliki tujuan pendidikan yang berbeda antara satu negara dengan yang lainnya. Tujuan tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kehendak masyarakat, yang diilhami oleh filosofis dan idealisme negaranya masing-masing. Kita sebagai negara yang memiliki idealisme yang tercermin dalam dasar negara yaitu Pancasila. Sehingga pendidikan di Indonesia berusaha untuk meneruskan dan melestarikan Pancasila kepada generasi muda. Hal ini dapat kita lihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Negara dan bangsa manapun menginginkan generasi baru sebagai penerus perjuangan mewarisi dan meneruskan budaya bangsa, adat-istiadat, norma-norma serta nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri.
Namun disamping hal tersebut di atas, pendidikan diharapkan mampu meningkatkan dan memperkaya kebudayaan, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman yang terus menerus berubah. Penyebab perubahan tersebut tidak lain adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terlebih lagi era globalisai sekarang merupakan tantangan yang harus dijawab dan dipersiapkan untuk menghadapinya, sehingga bangsa dan negara tidak tertinggal dan dapat mencapai kemajuan sesuai dengan harapan mayarakatnya.
Kemampuan sebagai bekal menghadapi tantangan merupakan kecerdasan yang harus dimiliki. Oleh karena itu, salah satu tujuan nasional kita yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Untuk mencapai kecerdasan tersebut harus melalui pendidikan, maka pemerintah berusaha untuk memajukan sistem pendidikan nasional. Dan dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan betakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan tujuan pendidikan nasional diatas, pada intinya pendidikan bertujuan:
1. memperbaiki mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan agama;
2. mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan;
3. membina dan mengembangkan fisik (jasmani) yang kuat dan sehat;
4. menjadikan individu yang sadar sebagai warga Negara.
Tujuan tersebut pada dasarnya masih bersifat umum sehingga masih diperlukan tujuan yang lebih spesifik dan jelas. Tujuan yang spesifik dan jelas akan memberikan pegangan terhadap guru sebagai pengajar dan dapat menjadi petunjuk tebtang metode mengajar yang lebih serasi serta memungkinkan penilaian proses dan hasil belajar yang lebih teliti. Oleh karena itu perumusan tujuan merupakan suatu hal yang pokok sebelum melakukan kegiatan pembelajaran.
Untuk merumuskan tujuan yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Beroriientasi pada kepentingan siswa (titik tolak perubahan tingkah laku)
2. Dinyatakan dengan kata kerja yang operasional artinya menunjukkan pada hasil perbuatan yang dapat diamati atau hasilnya dapat diukur.
Pendidikan di Indonesia dalam pengembangan produktivitas hasil pendidikan secara structural, Tujuan yang ingin di capai merupakan Kemampuan yang harus dimiliki dengan sebutan Standar Kompetensi Lulusan, maka Standar Kompetensi Lulusan dapat dilihat pada tingkatan sebagai berikut:
1. Tujuan Pendidikan Nasional;
2. Standar Komnpetensi Lulusan;
3. Standar Kompetensi Mata Pelajaran;
4. Kompetensi Dasar;
5. Tujuan Pembelajaran.
Dengan demikian sebagai seorang guru diharapkan menguasai media dan metode pembelajaran untuk mengajar, selain itu juga penting dikuasai guru adalah cara perumusan tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara jelas, terarah, dan terinci. Sehingga pemanfaatan atau penggunaan media pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, efektif dan efisien.
MEDIA DAN TEORI BELAJAR
1. Teori Klasik (sebelum abad 20) dikembangkan tanpa eksperimen dan berdasar pada filosof/spekulatif
a. Teori disiplin mental (berasal Psikologi Daya)
setiap individu memiliki daya mental (pikiran, ingatan, perhatian, tanggapan dsb, kemampuan tersebut akan meningkat apabila dilakukan latihan. Belajar berarti melatih daya (Theistik dan humanistic)
b. teori pengembangan alamiah/naturalis/aktualisasi diri.
Daya/kemampuan/potensi yang dimilik anak akan berkembang dengan sendirinya bukan karena dilatih, guru/pendidik perlu menciptakan suasana yang rileks, kondusif agar anak berkembang .
c. apersepsi (psikologi struktur/herbatisme)
manusia merupakan suatu struktur yang bias berubah dan bertambah jika belajar. Penambahan tersebut karena terasosiasinya struktur yang sudah ada dengan hal yang dipelajari sehingga membentuk struktur baru.


2. Teori belajar abad 20
Beberapa teori belajar abad ke-20 diantaranya: behaviorisme, belajar kognitif menurut Piaget, pemrosesan informasi dari Gagne, dan teori belajar gestalt

Teori Behaviorisme

Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :

1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
• Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
• Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
• Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.

2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
• Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
• Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
• Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
• Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.


Teori Belajar Kognitif menurut Piaget

Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”

Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

Teori Belajar Gestalt

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.


Teori Konstruktivisme (perkembangan intelektual atau perkembangan kognitif)
pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
(1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
(2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
(3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal,
(4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
(1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama,
(2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
(3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut:
(1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi,
(2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan
(3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
(1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,
(2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
(3) strategi siswa lebih bernilai, dan
(4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
(1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
(2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
(3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
(4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
(5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
(6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.



Disamping itu dalam pembahasan Teori Belajar RM Thomas mengemukakan tiga teori belajar yaitu sebagai berikut:
- Hubungan antara belajar dan pengalaman. RM. Thomas mengemukakan bahwa ada tiga tingkat pengalaman belajar, yakni:
1. Pengalaman melalui benda sebenarnya;
2. Pengalaman melalui benda pengganti;
3. pengalaman melalui bahasa.
- Anak belajar dari tingkat pengamatan (persepsi) menuju ke tingkat pengertian (konsepsi). Perceptual Learning menuju Konceptual learning.
- Prosedur belajar langsung dari tingkat kongkrit menuju Abstrak. Yakni:
1. Belajar langsung melalui masyarakat, karyawisata, manusia sumber, pengabdian masyarakat dan sebagainya;
2. Belajar langsung melalui kegiatan ekspresi menggambar, menari, dramatisasi dan sebagainya;
3. belajar langsung melalui AVA, model, grafik, film, radio, dan sebagainya.
4. belajar langsung melalui kata-kata, buku, ceramah, diskusi dan sebagainya.
Dalam usaha memanfaatkan media sebagai alat Bantu ini Edgar Dale mengadakan klasifikasi pengalaman menurut tingkat dari yang paling kongkrit ke yang paling abstrak yang disebut kerucut pengalaman (Cone of Experience). Kerucut pengalaman ini memberikan sumbangan besar dalam menentukan alat Bantu yang paling sesuai untuk pengalaman belajar.
Kerucut Pengalaman Edgar Dale


You Might Also Like :


5 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamualikum Wr.Wb
Sebelumnya terima kasih pak atas artikel yang bapak buat…karena dalam materi ini menerangkan tentang bagaimana cara pembelejaran yang baik…dengan adanya media pembelejaran ini seorang dapat memberikan perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima.

Dan yang ingin saya tanyakan adalah :
1. Bagaimana mengoptimalkan sumber belajar, dan kenapa Banyak orang beranggapan bahwa untuk menyediakan sumber belajar menuntut adanya biaya yang tinggi dan sulit untuk mendapatkannya, yang kadang-kadang ujung-ujungnya akan membebani orang tua siswa untuk mengeluarkan dana pendidikan yang lebih besar lagi.

2. Bagaimana cara untuk menyalurkan informasi dari guru ke siswa sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa dan pada akhirnya dapat menjadikan siswa melakukan kegiatan belajar., menumbuhkan sikap positif siswa terhadap materi dan proses belajar serta mengubah peran guru ke arah yang lebih positif dan produktif.



Terima kasih
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Ikah Atikah
Tingkat II, Kelas F.
03 Oktober 2011

Anonim mengatakan...

Assalamualikum Wr.Wb
azas media pembelajaran sangat penting bagi tenaga pengajar khususnya guru. Dilihat dari segi "MEDIA DAN TEORI BELAJAR" pentingnya kita sebagai seorang
"guru/pendidik perlu menciptakan suasana yang rileks, kondusif agar anak berkembang".dengan ini seorang guru harus memiliki konsep atau cara mengajar agar anak bisa lebih berkembang, yang saya ingin tanyakan :
" bagai mana cara kita sebagai seorang guru membuat suasana kondusif dalam kegiatan belajar mengajar bagi peserta didik yang kurang berkembang atau lambat dalam proses penyerapan/respon terhadap kegiatan belajarnya?"
terima kasih pak,

Ratna S Nurhikmah
Tingkat II kelas 1F

Anonim mengatakan...

assalammualaikum Wr. Wb
azas media pembelajaran sangat penting bagi tenaga pengajar khususnya guru.
dan guru di harapkan bisa selalu menghadapi berbagai karakteristik seorang peserta didik.
yang saya tanyakan :
apabila seorang murid mengalami cacat mental (autis, keterbelakangan mental, dll)
media apakah yang efisien dan efisien dalam proses blajar mengajar (PBM) untuk siswa yang cacat ?
MAKASIH PAK.
WASALAMMUALAIKUM.

SEPTIANE LARASATI
TINGKAT II KELAS F

Anonim mengatakan...

assalammualaikum Wr. Wb
azas media pembelajaran sangat penting bagi tenaga pengajar khususnya guru.
yang saya tanyakan:

Apabila Guru seorang guru mengalami cacat seperti tuna wicara (tidak bisa berbicara) media apakah yang baik bagi PBM (proses belajar mengajar)?
makasih pak.

Riki Hardiansyah
tingkat II Kelas E

Anonim mengatakan...

asalamuaikum Wr.Wb

jelaskan maksud dari ke tiga tingkat pengalaman pembelajaran menurut RM. Thomas

Trima kasih

Wasalamualaikum Wr.Wb


Marcela Rika Erdiana
Tingkat 2 Kelas F

Posting Komentar